Foto keroyokan atau hunting model keroyokan sering sekali diselenggarakan biasanya untuk event lomba maupun hunting bersama. Namun, tau ngak? banyak sekali sisi negatif dari pemotretan model kayak begini.
Ignatius Untung seorang founder the light magazine mengungkapkan bahwa kegiatan yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun ini, “menyesatkan” pelaku fotografi muda yang belum mengetahui kaidah-kaidah dasar fotografi. Ignatius Untung mengalami dampak negatif kegiatan ini sejak beberapa tahun yang lalu ketika beliau masih berposisi sebagai art director di sebuah perusahaan periklanan yang salah satu tugasnya adalah memilih fotografer untuk mengeksekusi konsep iklan yang ia buat. Lebih dari 100 fotografer menawarkan diri ke perusahaan periklanan tempat ia bekerja. Pada akhir tahun 90an, portfolio yang masuk rata-rata berkualitas, atau setidaknya memiliki warnanya sendiri (kalau tidak bisa dibilang bagus). Namun fenomena aneh terjadi menjelang pertengahan tahun 2000an. Ia banyak menemui fotografer-fotografer yang memiliki portfolio dengan visual yang sangat mirip. Model yang sama, make up yang sama, kostum yang sama, pose yang mirip dan lokasi yang sama. Awalnya ia berpikir bahwa salah satu dari mereka mencuri foto yang lain sehingga ditemukan kemiripan. Namun semakin lama, semakin banyak kasus dengan modus yang sama. Singkat kata, setelah melakukan penyelidikan didapati kesimpulan bahwa mereka mendapat foto tersebut dari sesi hunting model keroyokan.
Ignatius Untung menjelaskan bahwa ketidak-proper-an terjadi di sini ketika profesi fotografer yang seharusnya berfungsi sebagai sutradara yang satu dan tunggal dalam setiap pemotretan sehingga memiliki full kontrol dan arahan terhadap penerjemahan konsep, treatment lighting, direction model, dan segala tanggung jawab seorang sutradara sehingga portfolio yang dimiliki mutlak dan mampu merepresentasikan kemampuan dirinya sebagai seorang fotografer menjadi seolah-oleh terhapus oleh mekanisme hunting keroyokan ini yang mengkebiri habis hampir seluruh wewenang dan tanggung jawab seorang fotografer.
Dalam sesi hunting model keroyokan ini model ditempatkan pada satu titik, di mana sebelumnya panitia sudah menentukan dan menyiapkan model, tema, wardrobe, make up, lokasi, dan bahkan pencahayaan. Selanjutnya puluhan fotorgafer berjejer mengelilingi sang model sambil dan mulai membidikkan kameranya sambil memberondong sang model dengan semua amunisi jepretan yang tersedia. Karena formatnya keroyokan maka biasanya continous lighting digunakan. Dan karena begitu banyak peserta yang siap memberondong object foto tersebut layaknya binatang buas yang sudah lama tidak diberi makan maka tidak ada posisi sutradara atau pengarah gaya. Semuanya berhak memanggil-manggil sang model berharap ia menengok atau setidaknya melirik ke arahnya sehingga ia bisa mendapatkan shot dengan adanya kontak mata antara model dengan kamera. Tidak ada direction tema, lighting, pose, gesture, wardrobe yang leluasa dari tiap fotografer yang mengikutinya. Semuanya adalah hasil urunan. Yah maklumlah, biayanya juga ditanggung urunan.
Berdasarkan mekanisme tersebut maka “cacat” dari kegiatan ini menurut Igtianus Untung adalah membiasakan fotorgafer muda untuk keroyokan yang pada akhirnya bisa disalah artikan menjadi sesuatu yang sah. Sehingga foto hasil dari sesi ini juga bisa dianggap sah untuk diakui sebagai portfolio. Dan itulah “cacat”nya. Karena kaidah fotografer model sebagai sebuah sesi foto yang bersifat creating moment di mana kontrol fotografer terhadap object dan treatment fotografi seharusnya hampir tak terbatas menjadi dikebiri habis-habisan. Dan karena kontrol dan kontribusi fotorgafer terhadap object dan treatment fotografinya amat sangat minim maka foto hasil hunting keroyokan ini “cacat” jika diklaim sebagai portfolio pribadi, terlebih untuk keperluan komersil (bahkan walaupun sang fotografer memiliki kemampuan dan pengalaman untuk mengontrol object dan treatment pada sesi lain).
Sebagian tokoh fotografi, baik sosok fotografer kondang (termasuk yang namanya lebih kondang dari karyanya) maupun komunitas (termasuk yang kuantitasnya melebihi kualitasnya) bersama dengan dukungan brand-brand besar fotografi Indonesia (jelas saja mereka mendukung, karena setiap ada event ini pasti pengunjungnya rame kok, jadi seharusnya bisa lebih jualan) seolah-olah membuat ratifikasi bahwa hunting model keroyokan adalah cara belajar berfotografi yang mudah, murah dan efektif. Murah? Mungkin saja. Tapi yang jelas tidak mudah dan efektif. Ignatius Untung pernah membuat qualitative study mengenai kemampuan fotografi apa yang bisa didapatkan oleh peserta event ini dan sayangnya tidak ada jawaban yang memuaskan. Mereka tidak jadi lebih mengerti lighting, exposure, pose, mengarahkan model, dsb.
Tokoh-tokoh yang setiap dicecar mengenai hal ini selalu berkata bahwa ini demi kepentingan dunia fotografi Indonesia herannya kok tidak gerah dan berusaha mencari format baru yang lebih mendidik dan minim jebakan. Padahal usia mereka di fotografi jauh lebih panjang. Maka tidak heran jika sebagian orang berpikir bahwa mereka memang tidak sebegitu pedulinya terhadap pelaku fotografi Indonesia.
Sejak majalahnya terbit dan semenjak perdebatan mengenai hunting keroyokan ini muncul, Ignatius Untung selalu mencari solusi yang win-win. Satu insight yang menarik bagi beliau yang terlontar dari mulut peserta hunting keroyokan ini yang menjadi bahan pertimbangan untuk tidak membunuh habis kegiatan ini tapi lebih mereformatnya adalah “Saya nggak punya cukup uang untuk sewa model, wardrobe, lokasi, make up, studio, lighting, dll sehingga kalo mau latihan motret harus sewa sendiri ya nggak nyerah saya mas. Padahal saya suka motret model” ungkap salah seorang hobbyist hunting keroyokan.
Ya biaya mungkin memang menjadi satu-satunya hal yang perlu dipertimbangkan agar peserta bisa tetap belajar dengan biaya yang murah, namun hal-hal negatifnya perlu disingkirkan dengan mereformat event ini.
Setelah mencari selama beberapa bulan, Ignatius Untung muncul dengan sebuah ide (mungkin bukan ide yang baru juga) bahwa sesi memotret model keroyokan ini bisa direformat menjadi sesi memotret model keroyokan. Teknis pelaksanaannya adalah dengan memotret model secara keroyokan namun bergantian. Katakanlah satu orang fotografer mendapat waktu selama 15-20 menit dengan keleluasaan untuk mengontrol semuanya di luar wardrobe dan make up, yang tentunya quality timenya lebih baik dibandingkan 2 jam memotret keroyokan. Setidaknya mereka bisa belajar lighting, posing dan komposisi. Kontribusi dan kontrol terhadap object dan treatment bertambah walaupun belum ideal seperti sesi pemotretan model sebelumnya. Peserta lain yang belum mendapatkan giliran boleh menunggu di ruangan lain atau boleh membantu sebagai mengangkat-angkat lampu. Namun begitu ide ini tetap harus ditempatkan dalam konteks belajar sehingg atidak dianjurkan foto-foto outputnya digunakan untuk keperluan komersil termasuk diakui sebagai portfolio.
Ignatius Untung menegaskan usulan saran ini masih belum sempurna. Beliau mengharapkan usulan ini bisa menjadi trigger bagi teman-teman untuk bisa memikirkan ide yang lebih baik. Untuk itu pula, bagi semua yang memang pernah melontarkan kata-kata kepedulian terhadap dunia fotografi Indonesia dari mulutnya, ditantang untuk menyempurnakan usulan tersebut atau bahkan muncul dengan ide baru yang lebih baik lagi.
referensi : the light magazine