Mulai bosan dengan membuat karya seni rupa yang itu-itu saja? Sobat Serufo bisa mencoba berkarya senirupa cukil kayu yang satu ini. Sobat hanya memerlukan beberapa special tools yang bisa didapatkan di toko alat lukis dengan harga yang terjangkau.
Cukil kayu adalah teknik cetak relief dalamseni grafis, di mana gambar dipahat pada permukaan papan kayu, dengan bagian yang akan dicetak tetap sejajar dengan permukaan sementara bagian yang tak dicetak dicukil atau dipahat dengan tatah/alat cukil. Bagian yang dicukil dengan pisau atau tatah hasilnya menjadi “putih” (warna kertas atau bahan lain) , bagian yang tidak dicukil tetap sejajar dengan permukaan aslinya, hasilnya menjadi “hitam” (warna tinta). Seni cukil kayu disebut juga dengan “xilografi” (“xylography”) tapi kata ini jarang digunakan dalam bahasa Inggris.
Teknik cetak relief ini menghasilkan gambar maupun tulisan melalui proses pencetakan menggunakan permukaan lembar kayu ataupun lembar linoleum yang dipahat atau dicukil menggunakan tatah sebagai pencetak setelah dibubuhi cat atau pewarna pada kain maupun kertas yang sedikit dibasahi. apabila ingin menggunakan kombinasi warna, maka kita harus menggunakan cetakan yang berbeda bagi setiap warna yang digunakan. Teknik pencetakan ini bertolak belakang dengan teknik cetakintaglio dan etsa (etching) yang justru bagian yang tergores menampung tinta yang kemudian dicetakkan pada kertas.
Di Indonesia sebelum dan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru di bawah komando Jendral bintang lima Suharto cukil kayu menjamur sebagai alat untuk memotret realita; merespon permasalahan sosial hingga mengagitasi kesadaran masa untuk berontak dan melawan kezaliman yang digelorakan oleh JAKER (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) termsuk kelompok-kelompok yang ada diorbit mereka seperti komunitas anak-anak Sanggar Suka Banjir, Solo yang telah mengenal alat ini seperti yang terlihat disebuah terbitan alternatif Ajang sebelum keruntuhan rezim di atas. Perlu disebut, Penggunaan media cukil kayu pernah mencapai masa keemasannya ketika media ini diusung oleh Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang berbasiskan mahasiswa-mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia). Karya-karya tinggi estetika yang bertemakan ajakan melawan sisa-sisa orde baru, tema lingkungan hidup serta tema kerakyartan lainnya.
Dewasa ini media propaganda cukil kayu semakin ditinggalkan. Tradisi ini hanya tersisa dibeberapa komunitas marjinal seperti Sanggar Caping, Nurani Senja, Indie Art, JAKER, serta beberapa komunitas lainnya (termasuk Serufo). Hal ini menurut hemat kami disebabkan oleh dua hal yang mendasar. Pertama, sebagai media berekspresi telah berkembang media-media baru seperti berkembangnya teknis pencetakan. Pencetakan selebaran, poster maupun media propaganda lainnya semakin massal, mudah dan murah. Hal kedua, berkembang pesatnya komputer grafis mengakibatkan migrasinya sebagian besar pekarya untuk menggunakan photoshop, Corel Draw dan lain sebagainya sebagai bahasa visual.
Namun ketika hak paten didengungkan, termasuk softwarekomputer grafis sepenuhnya berpaten sebagai konsekuensi dari globalisasi, sehingga berimbas kepada harga yang mahal kalau tidak berhadapan dengan mekanisme hukum sebagai pembajak, beberapa pihak mencoba kembali menggunakan kembali seni cukil kayu. Termasuk yang dilakukan oleh Galeri Publik, institute for Global Justice yang bekerja sama dengan JAKER dan Indie art. Mereka mengadakan diskusi tentang media ini dan kemudian merancang serta melaksanakan workshop-workshop cukil kayu di beberapa komunitas kaum miskin kota dan komunitas buruh dipinggiran Jakarta yang kemudian dipamerkan. Ternyata sambutan masyarakat begitu antusias, ketika hasil karya manual dapat diperbanyak secara instan. Tema-temanya pun beragam, tetapi ternyata banyak dari karya-karya pesaerta workshop yang kebanyakan pemuda, pekerja seni maupun buruh ini banyak bicara tentang sistem ekonomi politik yang ada dikaitkan dengan realitas sosial yang ada. Dari gambaran kekumuhan di bawah jembatan layang, hingga badan-badan ekonomi dunia yang samar samar mereka pahami sebagai penyebab krisis ekonomi yang ada. Jelas sudah rakyat awam membutuhkan media-media alternatif untuk ‘berbicara’ ketika media massa besar dirasakan kurang menggambarkan permasalahan sesungguhnya di tingkatan keseharian. Nampaknya gairah itu menyeruak kembali.
Di China teknik cukil kayu ini telah digunakan untuk mencetak gambar dan tulisan sejak abad ke-5.
Di Eropa Woodcut atau woodblock printing merupakan media seni grafis tertua di Barat, berkembang sekitar tahun 1400an dimana awalnya banyak digunakan untuk keperluan mencetak kartu permainan (playing cards) hingga teknik serupa dimassalkan oleh Gutenberg. Prinsip pembuatannya adalah dengan membuat pemisahan permukaan plat/blok kayu yang akan terkena tinta dan yang tidak akan terkena tinta melalui teknik cukilan menggunakan pisau cukil khusus. Selanjutnya permukaan plat yang telah dicukil diolesi tinta cetak menggunakan rol karet dan diletakkan selembar kertas diatasnya lalu ditekan untuk mendapatkan cetakan gambarnya. Pencetakan dilakukan memakai mesin press atau mesin etching press dan dapat juga dilakukan tanpa bantuan mesin. Teknik ini dikenal juga sebagai teknik Eropa untuk membedakannya dengan teknik Asia/Jepang yang dikenal sebagai Moku Hanga. Woodcut biasanya menggunakan blok kayu khusus sebagai plat dan tinta berbasis minyak printing ink atau offset ink. Selain dicetak diatas kertas, beberapa seniman kontemporer telah mengupayakan woodcut dapat dicetak diatas permukaan kanvas, kain, plastik dan benda dengan permukaan datar lainnya
Di Jepang cukil kayu yang dikenal sebagai Moku Hanga (Japanese woodblock printmaking) (Inggris: moku=wood, hanga=print) yang dikembangkan di Jepang sejak zaman kekaisaran Edo (1615-1868). Pada masa itu seni ini dikenal dengan nama Ukiyo-e (inggris: “image of floating world”) dimana seniman-seniman dibantu para carverdan printer banyak menghasilkan gambar-gambar bertema keindahan alam, tokoh-tokoh masyarakat, para pahlawan perang dan Geisha. Teknik cukil kayu sendiri sebenarnya sudah dikenal di Jepang pada abad ke 8 dibawa oleh orang -orang China dan awalnya penggunaan teknik terbatas hanya di biara-biara Budha untuk kepentingan pengajaran agama.
Berbeda dengan teknik woodcut Eropa, dalam moku hanga tinta yang digunakan adalah tinta berbasis air seperti cat air/cat poster dan tinta cina dan menambahkan nori (rice paste) untuk mengikat dan menahan pigmen warna. Jika dalam woodcdut Eropa tinta diratakan diatas plat cukilan menggunakan rol karet, dalam moku hanga tinta diratakan menggunakan sikat halus. Pencetakan dilakukan secara manual/tanpa bantuan mesin, hanya menggunakan baren atau benda tumpul lainnya. Hasil cetakanpun akan berbeda, lebih mendekati seperti lukisan cat air atau cat poster/tinta cina. Dalam moku hanga dikenal pula istilah kento, sebagai teknik registrasi penempatan kertas untuk mencetak secara presisi menggunakan multi plat. Biasanya seniman Moku Hanga menggunakan blok kayu jenis cherry wood atau dimasa sekarang banyak digunakan Shina Plywood atau Sakura Plywood (papan kayu olahan pabrik dibuat khusus untuk Moku Hanga), sedangkan kertas yang digunakan adalah Washi atau kertas khusus jenis Japanese paper.
Cetakan-cetakan tersebut berupa fiksi yang banyak bersubyekkan dunia Geisha serta prostitusi yang marak di jaman feodal Jepang saat itu. Cetakan-cetakan tersebut sangat digandrungi masyarakat klas menengah atas saat itu. Cetakan-cetakan yang halus dirilis dalam ilustrasi buku ini kemudian menjadi ikon seni rupa Jepang saat itu, bahkan Ukiyo-e merupakan cikal bakal bagi perkembangan komik Jepang ang membanjiri toko buku-toko buku dunia saat ini. Namun dengan adanya Restorasi Meiji, sebagai respon dari tekanan Komodor Perry bersama Delegasi Amerika dalam Perjanjian Tanagawa pada tahun 1854 untuk membuka pasar serta peradabannya. Setelahnya, para interprenur barat telah memboyong tradisi seni Jepang ke dunia barat tewrutama ke Paris. Setelah kedatangan mereka, produk-produk seni budaya termasuk tradisi cukil kayu membanjiri dunia barat terutama Paris yang menjadi pusat kesenian saat itu. para pelukis beraliran Impresionist maupun post-Impresionis beramai-ramai menggunakan semangat, teknik ataupun efek teknik Ukiyo-e dalam berkarya. Sedangkan di Jepang sendiri perkenalan teknik cetak yang lebih efisien untuk industri pencetakan modern yang diimport dari dunia barat telah meredupkan tradisiUkiyo-e.
Ase o fuku onna (Woman wiping sweat from her brow) by Utamaro
Di Eropa banyak pula pekarya yang menggunakan media ini untuk berkarya serta mengekspresikan pandangan sosial politiknya. Sebut saja Kathe Kolwitz yang begitu menyentuhnya dalam menggambarkan pergolakan politik di masa dan tempatnya berpijak.
referensi tulisan: terasprintstudio.com oleh Syahrizal Pahlevi